Jumat, 17 Agustus 2012

Zayn Short Story


ZSS by Novi



 ***

Aku hanya melirik ponselku yang dari tadi berdering meminta diangkat. Apa mereka tidak bisa sabar sedikit saja. Mereka tahu aku tidak bisa bangun pagi. Ponselku berhenti berdering aku sedikit lega. Karena aku bisa fokus menyetir kekantor. Tetapi sepertinya mereka tidak bisa membiarkanku fokus menyetir karena ponselku sekarang berdering lagi. Astaga, mau mereka apa? Aku menyalakan bluetooth dan menerima telpon lewat bluetooth.

“Kau dimana?!” tanya Micheel.
“Tenanglah. Sebentar lagi aku sampai” kataku kesal.
“Cepat. Si monster sudah menanyakanku berkali-kali tentangmu sepertinya ada pekerjaan untukmu”
“Tunggu saja. 5 menit lagi aku sampai” memutuskan sambungan telpon.

Aku menutup pintu mobil dengan kesal mengapa nenek lampir itu tidak bisa untuk bersabar sebentar. Aku tahu mengenai keprofesionalan saat kerja tapi sungguh ini terlalu berlebihan. Awalnya dia memintaku untuk datang sebelum pukul delapan tetapi saat jam tujuh dia sudah menerorku untuk segera datang kekantor. Aku menuju meja kerja ku kemudian membersihkan lensa kameraku. Aku adalah seorang fotografer suatu majalah yang cukup terkenal. Itu dia si nenek lampir dia menghampiriku.

“Kau ada pekerjaan untuk memotret boyband yang sedang melejit itu” kata nenek lampir itu datar.
“Siapa? The Wanted?” tanyaku yang sebenarnya tidak ingin tahu.
“Bukan. Kau akan segera tahu. Mereka sudah menunggumu cepatlah kesana” perintahnya. Aku mendengus kesal.

Aku masuk ke ruang pemotretan. Mereka nampak sedang bersiap-siap untuk segera pemotretan. Baguslah. Karena terkadang aku sebal jika selebriti yang akan ku potret itu manja. Terkadang mereka memintaku untuk melakukan ini itu. Aku bukan asistennya. Aku melihat Rebecca si nenek lampir itu memasuki ruang pemotretan.

“Aku lupa memberi tahumu. Selain memotret semua personilnya. Kau juga harus memotret seorang-seorang personilnya. Mengerti?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
Aku menghampiri mereka yang sedang duduk dan saling memberikan lelucon. Sesekali, aku tertawa mendengarnya. Kami belum memulai pemotretan karena katanya masih ada dua orang lagi yang belum datang. Mereka sedang sarapan. Aku memutuskan untuk memotret
Harry telebih dahulu. Sekarang, aku sudah tahu nama-nama mereka bertiga. Harry, Liam dan Louis.
“Baiklah. Harry kau sudah siap?” tanyaku. Harry hanya tertawa.
“Aku sudah siap, Shafa. Hati-hati saat kau memotretku. Kau akan terpesona padaku” Harry mencoba menggodaku, aku hanya tertawa. Mulai fokus untuk memotretnya. Harry sudah terbiasa dengan pemotretan seperti ini terlihat sekali dari caranya berhadapan kamera. Aku bodoh tentu saja Harry itu sudah pandai saat pemotretan. One Direction itu boyband yang tengah disukai para remaja perempuan diseluruh dunia. One Diretion. Tunggu, berarti Malik dia....
“Maaf kami terlambat. Tadi Niall makan banyak sekali sehingga dia lupa dengan pemotretan ini” aku ternganga. Malik. Astaga, aku tidak salah lihat dia benar-benar Malik. Seperti juga denganku Malik menatapku tidak percaya. Mengapa aku harus bertemu dengan orang yang sudah menghancurkan hidupku dan kakakku. Sungguh, aku tidak bisa melupakan kejadian itu. Itu adalah mimpi burukku.
“Bersikap profesionallah Shafa” kataku dalam hati. Aku mencoba untuk bersikap profesional. Saat aku dan dia saling tatap muka aku hendak untuk tersenyum padanya. Tetapi, dia malah membuang muka. Malik, sungguh ingatanku mengenainya datang kembali dan sekarang aku benar-benar ingin menghajarnya.

Aku sudah selesai memotret. Harry, Liam, Louis dan Niall. Sekarang, saatnya aku memotret Malik.
“Mal...Maksudku Zayn sekarang giliranmu” kataku kikuk. Malik dia menghampiriku. Entahlah, rasanya meskipun rasa benci ku besar padanya tetapi aku akui entahlah tetapi secara fisik dia sangatlah sempurna itu menurutku dan aku benci mengakui itu.
Malik masih bersikap dingin padaku. Hei, seharusnya aku yang bersikap seperti itu. Bagaimana pun juga yang dirugikan saat kejadian itu adalah aku dan kakakku Josh. Pemotretan dengan Malik GAGAL. Dia hanya diam saja tidak menunjukkan ekspresi. Astaga, apa dia ingin membuatku dipecat dari pekerjaanku ini.
“Uhm....Zayn” kataku dia hanya menaikkan sebelah alisnya.
“Kurasa, kita perlu bicara”
“Bicaralah” katanya. Aku mendengus dan menghampiri the boys.
“Baiklah. Sepertinya kalian sudah jenuh dipotret saat ini. Aku akan memanggil Micheel untuk memulai wawancara dengan kalian. Setelah wawancara selesai pemotretan ini baru akan aku teruskan” kataku dengan satu tarikan nafas dan meninggalkan mereka.
Aku kembali ke meja kerjaku. Melihat hasil pemotretan tadi sempurna seperti yang ku harapkan. Tetapi, sebenarnya foto Malik tidak terlalu buruk. Meskipun tatapannya dingin, tanpa ekspresi dan penuh denda
m tetapi dia masih tampan saat difoto. Aku memerhatikan mata Hazelnya itu.


“Zayn, uhm aku...” kataku resah saat memandang mata hazel itu.
“Apa? Katakanlah” ucapnya tenang. Aku men
elan ludahku. Aku harus berani mengatakannya.
“Zayn, sebenarnya aku tahu kita sudah bersahabat cukup lama. Tetapi, aku sadar kalau aku ternyata merasakan....”
“Shaf, maaf aku ada telpon. Aku angkat dulu” katanya. Sial. Kalau saja tidak ada telpon tersebut mungkin aku sudah mengatakannya. Tak lama dia kembali.
“Shaf. Maaf, tetapi aku sedang berburu-buru seseorang sudah menungguku” dia mengacak-acak rambutku kemudian berlari meninggalkanku.
Seseorang? Siapa dia?



“Shaf. Shaf” seseorang memanggil namaku.
“Micheel, ada apa?” tanyaku.
“Aku sudah selesai mewawancarainya. Mereka bilang tadi saat sesi pemotretan kau memberhentikan dulu. Ada apa?”
“Baiklah. Aku akan kembali memotret” kataku dan berlalu tanpa menjawab pertanyaan Micheel.

“Zayn” teriakku saat melihatnya berlalu. Aku berlari menghampirinya. Aku harus berbicara dengannya apalagi dia sedang sendiri.
“Apa?!” tanyanya tak bersahabat. Aku mendengus. Aku menarik tangannya dan membawanya ke ruang pemotretan. Kebetulan sekali tidak ada siapa-siapa di ruangan ini.
“Ku mohon lupakan masa lalu dan bersikap profesional” kataku tanpa basa-basi. Malik hanya menatapku. Matanya itu.



***

Hari itu aku dan Josh sedang menuju rumah kami baru saja membeli beberapa makanan ringan di mini market. Tiba-tiba saja aku menarik hoodie yang dikenakan Josh. Josh dia marah kepada ku karena aku hampir mencekiknya. Aku tahu itu berlebihan. Tetapi yang ku lihat adalah Zayn sedang bemesraan dengan seorang perempuan. Bahkan Zayn mencium perempuan itu dengan mesra.

“Ada apa?” tanya Josh. Aku hanya diam terpaku. Josh melihat pandangan arah mataku. Aku bisa melihat amarah dari mata Josh. Josh mengepalkan tangannya. Dia menyerahkan barang bawaannya padaku. Aku tahu ini akan berakibat buruk. Zayn adalah sahabat Josh.
“MALIK” teriak Josh. Zayn dia menatap Josh bingung. Tiba-tiba saja Josh melayangkan tinjunya pada wajah Zayn.
“Ada apa ini?” tanya Zayn kebingungan. Josh kembali meninju wajah Zayn. Kali ini Zayn membalas tinju Josh.
“Hentikan Josh kumohon hentikan” Josh tidak menggubrisku dia tetap meninju Zayn. Aku tahu perkelahian ini tidak imbang. Badan Josh itu bisa dibilang kurus. Sedangkan Zayn, bahkan tubuhnya seperti atlet.
“JOSH HENTIKAN KU MOHON” Josh masih tetap tak mendengarku. Air mata ku mulai keluar.
Josh tergeletak tak berdaya sedangkan Zayn dia masih meninju Josh. Aku berlari menghampiri Josh. Astaga, aku panik sekali. Josh dia terlihat seperti orang yang hampir mati meskipun aku tidak tahu bagaimana orang yang sekarat itu. Tetapi Josh sudah nampak seperti orang yang sekarat. Aku mendorong tubuh Zayn.
“KAU!!!” Zayn dia menatapku dengan tatapan menyesal.
“Apa yang kau lakukan padanya?!” teriakku.
“Ma..maaf”
Maaf? Dia bilang maaf. Dia hampir membuat kakakku mati dan sekarang dia meminta maaf
?




“Memang kau bersikap profesional?”
“Hei! Aku sedang bertanya padamu. Memang kau bersikap profesional?” tanyanya menyadarkanku.
“Tentu saja” dia tersenyum sinis.
“Tetapi, aku bisa melihat senyummu itu palsu” katanya.
“Ya. senyumku memang palsu memang kenapa?” tanyaku. Dia tidak menjawab.
“Bagaimana aku bisa tersenyum padamu. Kau hampir membuat Josh mati. Kau tahu?” dia menunduk.
“Zayn. Seharusnya aku yang bersikap seperti itu bukan kau!” teriakku lalu meninggalkannya. Aku tidak peduli sekarang dengan fotonya lagi. Aku tidak peduli jika Rebecca akan memarahi ku karena foto Zayn itu. Sungguh, aku benar-benar tidak peduli.

Aku kembali ke mejaku membereskannya lalu mengambil tasku dan pergi dari situ. Astaga, aku benci melihatnya.

Aku baru saja selesai kuliah dan menuju flatku yang berada dilantai 14. Aku memang kerja paruh waktu menjadi photographer.

Aku baru selesai mandi. Tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu. Untung saja aku sudah berpakaian. Tetapi rambutku masih basah. Aku membuka pintu dan saat kubuka orang yang hampir membuat Josh sekarat itu sedang berdiri dihadapanku. Aku membencinya tetapi mengapa jantungku berdebar sangat cepat seperti ini. Apakah perasaanku padanya masih ada meskipun aku membencinya. Aku langsung menutup pintuku kembali. Dia menahannya dengan kakiknya.
“Ku mohon. Aku ingin berbicara denganmu” katanya.
“Sepertinya tidak ada yang perlu dibicarakan pergilah”
“Tetapi.....” katanya.
“Aku sudah bilang padamu Malik pergilah aku tidak mau melihatmu lagi” dia menyerah dan pergi meninggalkan flatku.

“Halo. Apa benar aku berbicara dengan Shafa photographer itu?” tanya seseorang diujung telpon sana.
“Anda benar. Apa ada yang bisa ku bantu?” tanyaku ramah.
“Aku mempunyai kerjaan untukmu. Apa hari minggu ini kau sibuk?” tanyanya.
“Tidak. Aku tidak sibuk”
“Baiklah. Kalau begitu aku akan menghubungimu lagi mengenai tempatnya” katanya langsung menutup telpon. Bahkan aku belum tahu namanya sama sekali.

Astaga, rumah ini besar sekali. Aku seperti masuk ke istana. Aku sedikit bingung mengapa aku mendapat pekerjaan dirumah seperti ini. Jujur, ini baru pertama kalinya. Biasanya mereka meminta jasaku untuk memotret mereka saat pre-wedding, pernikahan dan lain-lain. Tetapi bahkan aku tidak tahu aku akan memotret apa hari ini. Aku memencet bel rumah ini. Tak lama ada seseorang yang datang dan dia bilang agar aku masuk saja.

Aku memasuki rumah ini. Mengagumi arsitektur rumah ini. Sekali kutekankan rumah ini seperti ISTANA luas sekali. Bahkan dibelakang rumah ini ada bukit untuk bermain golf pantas saja kalau rumahnya seperti ini tidak perlu repot-repot mencari tempat karena rumah ini pun sudah menjadi objek yang bagus.

“Kau sudah datang” suara ini. Aku membalikkan tubuhku benar saja.
“Maaf, aku sibuk. Aku pulang sekarang” kataku. Dia menarik tanganku mencoba menahanku.
“Aku ingin berbicara denganmu” katanya.
“Tidak bisa. Aku sibuk”
“Aku minta maaf dengan kebodohanku saat itu. Aku benar-benar menyesal” aku mendongak melihat matanya. Sepertinya dia tidak berbohong.
“Menyesal” ucapku sinis. Aku mencoba tetap mempertahankan emosiku yang seperti ini. Tapi jantungku dia tidak mengikuti emosiku dia berdetak cepat sekali. Apalagi ketika aku melihat kedua matanya.
“Aku tidak mau kehilanganmu lagi” katanya terdengar getir.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Tidak bertemu denganmu selama 3 tahun. Membuatku gila kau tahu?” aku diam tidak mengerti apa yang dikatakannya.
“Aku benci mengatakan ini tetapi aku menyukaimu” katanya.
“Lelucon apa lagi ini” kataku.
“Ku mohon. Aku tidak mau kehilanganmu lagi. Aku menyayangimu aku mencintaimu” katanya tanpa berhenti.
“Aku sungguh-sungguh menyesal. Ku mohon maafkan aku” aku tetap diam. Apa yang dikatakannya itu jujur.
“Kau tidak percaya?” tanyanya. Aku mengangguk. Tiba-tiba saja dia menciumku. Aku diam. Aku
... Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
“Apa sekarang kau percaya?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia langsung memelukku. Astaga, tidak Zayn jangan memelukku dia pasti merasakan detak jantungku yang berdetak cepat sekali.
“Ku mohon jangan tinggalkan aku lagi” katanya. Aku
hanya tersenyum.


0 komentar:

Posting Komentar