Minggu, 14 Oktober 2012

Niall One Shot 1

NSS by Nae




“Sorry”

“Mmmh”

“Hey, aku sangat menyesal. I’m sorry”
Aku berdecak, kapan ia akan berhenti meminta maaf sih. Lagipula, tabrakan ini memang tak di sengaja, kan?
“I’m sorry. So sorry, I’m sorry. Sorry. Sorry fo-“”
“Oh come on! Aku di sini duduk untuk mengobati lukaku, bukan untuk mendengarkanmu meminta maaf”
Cowok berambut blonde itu seketika menghentikan perkataannya. Aku menghembuskan napas lega.
“But seriousy, I’m so so-“
“Can you stop say sorry? I forgive you. Get it?” Hampir saja kubentak dia.
Ia tersenyum lebar ,
“Thanks”
Aku mengangguk pelan. Menunduk dan melihat lukaku di lutut dan siku.

Hft. Tidak parah. Tapi tetap saja perih.

“Aku carikan obat ya?” Ia memandangku khawatir dari
balik kacamata hitamnya
Aku menimbang-nimbang, “Okey”
Ia berdiri, “Tetap di sini” ia berjalan menjauh sampai tak terlihat oleh mataku.
Aku mengambil handphoneku dari saku. Terpaksa membatalkan janji dengan Amel dan Shafa.
Damn. Padahal aku benar-benar ingin menonton film yang di bintangi Andrew Garfield itu. Ugh, terpaksa harus di undur hanya karena menabrak cowok blonde itu.
Cowok aneh, musim panas seperti ini memakai hoodie putih dan topi merah, apalagi ia juga memakai kacamata hitam, semakin tak terlihat wajahnya.
Cowok itu tiba-tiba sudah di depanku, berlutut dan menaruh kakiku yang lututnya terluka di pangkuannya.
“Eeeh! Hey! Tidak u-“
“Shh, it’s my fault. Sudah seharusnya aku berbuat begini”
Akhirnya aku diam, membiarkan ia mengobati lenganku
“namamu siapa?” Tanyaku memulai pembicaraan
“Niall”
I rolled my eyes. Niall... niall.... kayak pernah denger...
“Niall?” tanyaku, membuat ia menatapku sebentar dari balik kacamatanya
“Yeah, why?”
“Mmm, nope”
Tiba-tiba aku teringat Shafa. Kalo tak salah ia suka menyebut nama Niall Horan dari sebuah boyband dari UK...
“Like Niall in boyband from UK?” Candaku, sambil tersenyum lebar. Kini ia benar-benar menatapku, menghentikan kegiatannya .
“ Wait, aku lupa namanya... Ng,.. one.... One....” Aku menatapnya, benarbenar benar tak tahu. bibirnya merapat membentuk garis. Seperti menahan tawa.
“One Detection?”
Tawa Niall meledak. Keras. Sangat. Hingga memperlihatkan giginya yang di behel. Ia terduduk di trotoar ini, untung jalan ini memang sepi.
Aku mengerucutkan bibir
“Whats so funny?” Tanyaku, hampir membentak. Tapi Niall tak menghiraukanku, ia tetap sibuk tertawa hingga memegan perutnya, tangannya yang lain menggebuk kerasnya trotoar
Omaygat. I want to kill this boy.
“If you not stop laughing, blonde hair. I’ll leave you”
Ia berhenti tertawa, tapi matanya masih menyiratkan kegelian
“Dengan kaki seperti itu?”
Shit. Dia benar.
Dan ia tertawa lagi.
“Its your fault, blonde!”
“okeyokey,” ia mencoba menghentikan tawanya
“First, my name is Niall. Not blonde”
I rolled my eyes “Whatever”
Ia tak menghiraukanku, “Second, the name is ‘One Direction. Not ‘One DETECTION’”
Aku memelototinya, kini ia sudah siap tertawa
“For God, Niall. I’ll kill you if you laughing again”
Ia mencoba menahan tertawanya, bibirnya terkatup rapat.
“Okey”
“And I don’t care about One.. Umm-“
“Direction”
“Yes that,whatev. I don’t care”
Niall diam sebentar, “You know One direction, right?”
“JUST know. Not fans” aku memberi penekanan pada kata pertama. Itu benar, aku hanya tahu. Tahu mereka boyband. Just that.
“Are you know personil of One direction?”
Aku berpikir sebentar, Shafa pernah bilang..
“Liam.... Niall... Louis... mm” Oke aku tak tau lagi, “Kenapa kita harus membicarakan ini?” protesku
Ia tersenyum.
“K,” ia berdiri, menjulurkan tangannya kepadaku
“Kita ulang perkenalan kita” katanya sambil tersenyum lebar,
“Sorry, kita bertemu di saat yang tepat. What’s your name?”
Aku menerima ulurannya, “Novi, you?”
“Niall James Horan from One Direction”

Dan itulah pertama kalinya aku ingin menimpukkan sepatu ke wajah seseorang.



***Threeweekslater
“Dont. Touch. My. Pancake” aku mendesis berjalan mendekatinya dengan cepat. Menggapai-gapai pancake yang baru saja aku buat susah payah.
“it’s mine” tegas Niall, mengangkat pancake buatanku dengan tangannya yang panjang hingga tak tertangkap olehku.
“Niall! I’m hungry” aku memelas kepadanya, bagaimana tidak? Dan ia tertawa
Aku belum makan dari pagi dan membuat pancake itu susah payah. Sekarang dengan santainya ia bilang pancake itu miliknya? Jika aku memakai sepatu sekarang, aku akan mengeplak kepalanya. Pasti.
“Just give your pancake to me, and I give you my fettucini” Aku melebarkan mataku.
“Oke, deal” senyumku mengembang. Fettucinifettucini~~~
Niall menyerahkan sebungkus kotak bekal kepadaku, aku membukanya. Fettucini~
“Thank you Horan!” aku memberinya pelukan singkat dan berjalan ke meja makan untuk mengambil garpu, serta garpu dan sendok untuk Niall.
“Niall?” tanyaku heran, dia mesih di tempatnya. Mematung
“Niall? Come on. Kamu mau makan pancake itu tidak?”
“Hah? Oh. Iya” ia tersadar dan menerima garpu dan sendok yang aku sodorkan.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Ia duduk di sampingku.
“bikinan siapa ini?” tanyaku, sambil membuka penutup bekal.
“Akwuh” mulutnya penuh dengan potongan pancake, aku hampir menyemburkan fettucini yang ada di mulut karena tertawa.
“ Bohong, kau saja tak tau bentuk spagetti sebelum di rebus” godaku,ia menekuk bibirnya.
“Oke, aku mengaku. Di bantu Louis”
“kenapa kamu mau memasak? Tumben”
Ia membuang mukanya sebelum menjawab,
“Kamu bilang kamu lapar di sms jadi... Yah begitulah”
I’m blushing.
Aku hanya membalas text nyabhawa aku lapar. Dan ia membawa fettucini? Bikinan sendiri? Padahal, Niall kan hanya bisa makan.
Tiga minggu.
Waktu yang cukup untuk meyakinkan Niall James Horan memasuki hidupku.
Sejam setelah pertemuan tak terduga itu, dia membawaku ke hotelnya untuk mengobati lukaku. Aku di perkenalkan ke teman-temannya yang... yah, menurutku ‘agak’ gila.
Kini aku bisa mengingat nama mereka semua. Louis, Liam, Harry, Zayn, dan Niall sendiri.
Aku cukup senang dengan apa yang di lakukan mereka di dalam hidupku. Membuat hidupku lebih banyak tawa.
Tapi, yang paling mengubah hidupku sendiri adalah Niall.
Perasaan yang tak pernah ada sejak aku bertemu dia, kini muncul perlahan-lahan. Pelan, tapi pasti. Niall James Horan membuatku merasakan perasaan ini.
Kenapa dia? Mungkin karena sifatnya yang tak bisa di tebak. Atau mungkin........
Karena dia yang pertama kali meyakinkan diriku bahwa ia tidak akan pergi? Seperti yang sebelumnya? Maybe.
Tapi ia memang meyakinkan, sangat. Hingga mungkin alasan itulah yang membuatku sekarang bergantung padanya. Tapi, aku tak mengharapkan bahwa aku dan dia mungkin bersama.
Aku tahu dia menyayangiku. Sebagai adik. Aku tahu.
Karena itu, aku mengusahakan sebisaku untuk tidak berharap lebih.

“Hey, Nov” Niall melempariku popcornnya kepadaku, aku menatapnya
“What?”
ia memandangku, menatap bola mataku yang hitam langsung.
“Ada apa?” Aku menatapnya bingung.
Ia tertawa, “Tidak”
“Aneh”
Ia terdiam, aku terdiam. Seminggu lebih aku tak betemu dia karena urusan show-nya yang padat, kini aku dan dia duduk di sofa flatku, menikmati film lama hasil mempora-porandakan koleksi dvd-ku.
“Novi”
“What?” tanyaku tanpa melirik
Ia diam lagi, aku kini menghadapnya. Ia menunduk,
“Ke-na-pa?” tanyaku lagi, aku tau ada yang tak beres.
“Mmm, so... mm....” Ia memainkan jari-jarinya. Oh, aku paling tak suka jika ia memutar-muter pembicaraan seperti ini.
“Just to the point, Horan” aku mendesis.
Ia menatapku ragu “mm.....”
Aku menunggu.
“Aku suka seseorang”
Kini aku ingin mengutuk diriku yang selalu ingin to the point.
“Mm, yeah. Aku menyukainya, sangat”
Sakit. Rasanya sakit.
“Aku menyadarinya dari pertama kali bertemu dia” Niall tersenyum, senyum bahagia mengingat apa yang ia pikirkan sekarang.
Air mataku sudah di ujung mata.
“I want to be her boyfriend, Nov” Niall tersenyum lebar. Amat-sangat-bahagia.
“Her name is- Nov? Are you crying?” Niall kini menatapku, menaikkan alisnya
Aku baru menyadari bahwa air mataku sudah keluar.
“Nov? Hey, kamu kenapa? Nov?” Niall panik, aku menunduk. Tidak. Ia tidak boleh tau perasaanku
“Mm, sori Niall, you have to go” aku mendorongnya menuju pintu flat, tapi Niall berusaha untuk mengorek apa yang terjadi padaku dulu
“Hey, Nov. Kamu kenapa? Nov? Don’t be like that- Nov!” aku menutup pintu flatku. Tepat di hadapannya.
“Nov! Hey! Wy? Why are you crying!?” Niall menggedor-gedor pintu
“Just go! Leave me alone!” aku berteriak, duduk menyender pintu
“Nov, tell me! I can’t leave you if you crying!”
Aku tak menjawabnya, Niall terus mengetuk-ngetuk pintuku,
“Nov... please” ia memelas, aku menangis lebih keras lagi.
Hingga sejam kemudian, ia tetap menyebut-nyebut namaku, memintaku untuk membukakan pintu, menjelaskan kenapa. Tapi aku tak menjelaskannya. Menangis, keras. Hingga Niall bisa mendengar tangisanku. Hingga setiap menit ia memintaku untuk berhenti menangis
“Nov, call me ya if you feel better” aku tak menjawab, “I’ll waiting your call. I have to go”
Aku tetap tak menjawab. Hingga aku mendengar langkah kaki yang menjauh, aku menangis lebih keras.
Dalam kesunyian flat, aku menyadari
Aku tidak bisa bersama Niall James Horan lagi. It’s over.
*****FiveDaysLater
Lima hari. Lima hari aku hanya keluar flat untuk kuliah dan mencari makan.
Lima hari Niall James Horan tak mengunjungiku karena padatnya shownya dengan One Direction.
Lima hari Niall James Horan memborbardirku dengan sms dan telepon yang selalu ia sempatkan saatsaat aktivitasnya.
Aku hampir menangis setiap hari, setiap kali aku mengingat bahwa aku tak akan pernah bisa biasa lagi dengan Niall James Horan. Ia sudah memasuki hidupku terlalu dalam.
Aku tak cukup kuat untk mendengar ia menyukai perempuan lain. Itu terlalu menyakitkan.
“Nov please, you must to eat something”
Aku tersenyum seadanya kepadanya, “Gue udah makan kok”
“Lie! Kamu belom makan dari kemaren Nov. Please makan” Shafa memelas
“I can’t eat, mulutku kaku” jawabku,
“Ayolah, kita ke canteen kampus yuk, biar lo mau makan sesuatu. Ayo” shafa menarik-narik tanganku menuju canteen, aku hhanya bisa mengikutinya pasrah

“So..... bagaimana Niall?”
“I don’t know” aku mengangkat kedua bahuku, terkesan tak peduli. Tapi sebenarnya sangat sakit.
Shafa menaruh sendoknya, “Kau tak bisa begini terus, nov”
Aku hanya bisa menunduk,
“Kau mencintainya, tell him”
“I can’t! Jika aku memberitahunya, hubungan aku dan dia akan semakin... rumit”
Shafa menatapku “But, if y-“
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA! NIALL FROM ONE DIRECTION IN HALL!!!!!!”
Teriakan salah satu perempuan itu mengagetkanku. Membuat semua orang disini ikut berteriak dan berhamburan keluar kampus.
Niall ada di sini.
Ngapain?
“What? Niall disini?” shafa bertanya heran, aku hanya menggeleng tidak tahu. Karena aku benar-benar tidak tahu.
“Cari mati ya? Udah tau ini kampus, ayo Nov kita ketemu sama d-“
“I won’t”
“Com- what?” shafa yang sudah berdiri dari bangku langsung menatapku.
Entah kenapa, teriakan itu makin besar
“Why? Come on! Ini kesempataaan” shafa menarik-narikku agar bangun dari tempat duduk , tapi aku tetap kukuh
“I can’t! Aku tidak bisa bertemu dengannya sekarang!”
“But, Nov-“ kata-kata shafa terhenti, dan ia juga berhenti menarikku. Dan aku juga menyadari bahwa teriakan-teriakan perempuan itu makin kencang dari sebelumnya.
Aku menengok ke shafa yang kini juga terbengong menatap kebelakangku. Aku mengikuti arah pandangannya.
Rambut blondenya yang di tutupi topi, dan blue eyesnya yang di tutupi kacamata hitam tak menutupi bahwa ia adalah Niall James Horan. Orang yang kusukai. Ia berjalan ke arah meja makan aku dan shafa di ikuti oleh teriakan dan tatapan orang-orang
I miss him. So badly. Tapi yang aku lakukan malah mengambil tasku dan berjalan cepat menuju pintu keluar kantin yang langsung menuju parkiran. Tak mempedulikan teriakan Shafa dan aku juga mendengar, kalo tak salah- teriakan Niall yang memanggil-manggil namaku.
Aku berlari di tengah-tengah padatnya kota London, berulang kali mengucapkan kata maaf ketika menabrak orang.
Yang aku tahu, aku harus lari dari dia.
15:40
Dua jam lebih aku menghindarinya, dan aku malah berhenti dimana aku pertama kali bertemu dengannya.
Trotoar ini. Trotoar tepat depan etalase kue-kue wedding dan cupcakes. Trotoar yang jarang di lewati orang.
Tempat pertama kali aku bertemu dengannya.
Air mataku mulai menggenang lagi.
Tuhan,
Kenapa harus dia?
Kenapa harus ia yang menabrakku?
Kenapa harus orang itu yang masuk ke hidupku?
Bisakah orang lain yang menggantikannya?
Aku terduduk,
“Niall” air mataku meleleh
”Niall”
“Where are you? I need you now!”
“I’m here”
Mata biru itu menatapku. Senyumnya megembang.
“Hello, Novi. I miss you”
Dan tanpa peringatan, aku memeluknya sambil menangis.

“eat”
Niall menyodorkan sebungkus kue padaku, ia duduk di sebelahku dan memakannya bagiannya juga.
“How are you?” aku bertanya, agak canggung
“Not good,”
“Aku menatapnya, “why? Are you sick?”
“Yes, I’m sick”
“What? Sakit apa?” aku bertanya khawatir,
“you not call me, that’s make me sick”
Aku mematung. Tak tahu harus berkata apa.
“Tell me Nov, why are you crying six days ago?”
Aku menunduk, menggigit bibir. Apa yang harus aku jelaskan? Bahwa aku menangis karena tak sangup untuk mendengar bahwa ia menyukai orang lain?
Itu akan merusak persahabatan kami.
“it’s make me crazy you know? Kamu tidak menjawab telponku, sedangkan aku tak bisa ke flatmu karena padatnya show. Dan kini, ketika aku ada waktu senggang. Aku nekat ke kampus kamu untuk bertemu kamu. Kamu malah kabur”
Air mata mulai menggenangi pelupuk mataku lagi
“I, I’m sorry Niall. I, I....”
“Tell me Nov, please”
“I just.”
“Just?” Aku memberanikan diri mengangkat kepala, menatap matanya yang- oh my god.
“Just what,Nov?” niall mendesakku, ia melihat air mataku yang sudah di ujung mata dan ia melotot
“Don’t crying before you tell me” peringatnya
“Tell me nov, please”
“kenapa? Padahal aku ingin memberitahukan siapa yang aku cintai”
Aku langsung berdiri mendengarnya berkata begitu. Niall kaget dan mendongak, air mataku sudah turun.
“ THAT HURT ME TO HEAR WHO YOU LIKE!” teriakku
“i love you, you know!? Dan kamu dengan santainya berkata seperti itu?” aku mengusap air mataku kasar,
“Can we over now? I can be your bestfriend again because what i feel to you”
Niall hanya mematung. Sumpah, kalo gue bawa panci udah gue tabokin ke mukanya.

“I must go. Bye” aku membalikkan badan, sumpah sampai rumah aku akan menangis sekencang-kencang yang aku bisa.
“Don’t go”
Aku mematung
“Please, don’t go. I need you. So much”
“Nov, please. i love you, kemarin aku mencoba mengatakannya dengan begitu but... aku tak tahu reaksi kamu akan begitu”
Aku mematung di tempatku. Sumpah, gue gak bisa balik atau gimana, kaget banget asli.
“please Nov please,” suara itu kini berada persis di belakangku.
“Please don’t go, I need you so much. Nov, please”
Kini aku mengerti apa maksudnya di butuhkan oleh seseorang.
Aku memutarkan badanku, menghadapnya yang kini hampir menangis,
Aku tersenyum kepadanya. Air mataku masih mengucur, tapi kini air mata itu turu sebagai air mata bahagia.
“You get me, Horan”

These feelings arise when we are always together. emerged slowly as the baby grows. slowly, but surely. you and I'll always be together if we always keep this feeling.
Je t'aime, et souvenez-vous. Je suis toujours avec vous

THANKS FOR READING! SO SORRY KALO ENDING NYA BENERBENER GAK JELAS! LOVE YAAA BUAT YANG BACA! SALAM BARBEL ASTUTI! MUAH.
Xx

1 komentar: